Minggu, 20 Maret 2016

Harmonis


Di suatu senja, di sudut keramaian kota, di antara deras hujan mendera, ada dua bocah yang sedang berkelana. Tak tahu arah ingin kemana, hanya mengikuti naluri kaki melangkah. Dua bocah kakak beradik, kakaknya perempuan berusia tujuh tahun sedangkan adiknya laki-laki berusia 4 tahun, dengan pakaian lusuh dan basah kuyup karena hujan yang tak berujung. Sang kakak mencoba mendamaikan hati si adik lantaran mengeluh kedinginan serta kelaparan. Hanya kata “sabar” yang mampu diberikan sang kakak. Dua bocah yang telah berjalan puluhan kilometer tersebut tak tahu harus kemana, mereka merupakan anak yatim piatu yang tak memiliki sanak saudara.
“kak, adik sudah nggak kuat jalan lagi” pinta sang adik kepada kakaknya dengan meremas tangan si kakak sekuat tenaga yang tersisa.
“iya sudah, kita istirahat disana yuk” jawab sang kakak seraya menunjuk pada arah teras toko di depan.
Sesampainya mereka disana, kakak menggelar kardus hanya sekedar pengurang rasa dingin sebagai alas mereka untuk tidur. Mereka berdua tak bisa tertidur di tengah perut yang sedang lapar serta dinginnya angin malam yang di bumbui sapuan air hujan.
Sang kakak mencoba mengelus rambut sang adik, pelan dan penuh kasih sayang, sang adik membalas dengan pelukan. Tampak pemandangan dua bocah kucel yang saling berpelukan, menghangatkan tubuh dalam dekapan. Terdengar suara perut sang kakak yang sedang keroncongan.
“kakak laper ya?” tanya si adik kepada kakaknya
hanya menggelengkan kepala sang kakak memberi isyarat bahwa ia tidak lapar, namun sang adik yang mendengar goncangan perut sang kakak tak bisa tuk dibohongi.
Dengan tatapan dalam, sang adik menangis melihat sang kakaknya memegangi perutnya, dia tak tahu harus bagaimana, bocah laki-laki tersebut akhirnya berinisiatif berlari ke tengah-tengah derasnya hujan, ia mencoba menampung air hujan dengan kedua tangannya yang kecil. Ia kembali berlari ke arah sang kakak dengan tangan berisikan air hujan.
“kaaaak, diminum kak, biar perut kakak gak perih lagi”
dengan mata berbinar-binar anak yang masih lugu serta tak tahu apapun tersebut dipaksa menjadi lebih dewasa karena keadaaan. Sang kakak dengan berat hati menerima air hujan yang dibawakan sang adik. Air itu terasa begitu dingin bercampur dengan isak tangis sang kakak,
“ya Tuhan, kenapa kami berdua harus seperti” hati kecil sang kakak berbisik.
Melihat sang adik mencoba berlari kembali ke tengah derasnya hujan malam itu, sang kakak mengejarnya
“sudah dik, sudah, kakak sudah tidak apa-apa” sang kakak memeluk adiknya erat-erat,
“maafin kakak ya, nggak bisa berbuat apa-apa” kakak yang mencoba berkata di tengah deru tangis.
“kak, itu makanan apa ya kak?” tunjuk sang adik ke arah penjual di seberang jalan raya.
“itu terang bulan dik, kamu mau?” tanya sang kakak.
Sang adik mencoba menutupi rasa inginnya tersebut, dengan mata berbinar yang ia tunjukkan, sang kakak mencoba membelikan meski ia tak tahu bagaimana cara membelinya karena sang kakak tak memiliki uang bahkan seribu rupiah sekalipun.
“kamu mau kan? Kakak beliin ya, sekarang adik tunggu sebentar kakak mau kesana” pinta sang kakak serta mengarahkan si adik tuk menuju teras toko kembali.
“paman, saya boleh minta terang bulannya satu potong?”
tanya sang kakak dengan mengepalkan tangan di tengah dadanya bukan bermaksud untuk memohon namun hal tersebut lantaran ia kedingingan, dingin yang terasa begitu teramat menusuk.
“haah! Enak sekali kamu minta, cuma satu potong lagi, memang kamu nggak ada uang ya?” bentak si penjual terang bulan tersebut,
dengan sebuah gelengan kepala sang kakak menjawab serta melanjutkan “saya mohon paman, ini untuk adik saya yang disana, dia kelaparan” sang kakak menjelaskan seraya menunjuk ke arah sang adik yang tertidur.
Sang penjual seketika merasa iba, ternyata bocah tersebut tak sendiri bahkan dia meminta hanya satu potong hanya untuk si adiknya
“ya sudah, ini saya kasih, kamu pasti kelaparan juga kan?” tanya si penjual dengan memberikan satu kotak berisi kue terang bulan.
Tanpa berpikir terlalu lama sang kakak menerimanya, dan dia membukanya, matanya mulai berkaca-kaca ia berprasangka bahwa malam ini dia dan adiknya tak akan terlelap dalam kelaparan air matanya jatuh dan membasahi kue terang bulan tersebut, ia mencoba menyantap satu potong kue terang bulan tersebut hangat serta legit ia rasakan, dengan penuh semangat dan terlihat rakus sang kakak memakan kembali beberapa potong kue terang bulan tersebut, dengan mulut masih penuh sang kakak mengucapkan terima kasih pada si penjual tersebut. Sang penjual hanya bisa terdiam, melihat keadaan bocah tersebut dengan ceria memakan kue terang bulan buatannya serta tak mempedulikan lagi pakaiannya yang basah.
Sang kakak kemudian kembali tuk memberikan terang bulan kepada adiknya, dengan salah satu tangan membawa kotak persegi berwarna putih yang berisi beberapa potong terang bulan serta tangan satunya lagi menutupi bagian atas kotak agar terlindung dari hujan
Setibanya di teras toko, ia melihat adiknya tertidur, dengan posisi kedua kaki terlipat rapat di depan dada dengan kedua tangan terjepit di antara sela kaki. Sang kakak mencoba membangunkannya agar si adik bisa merasakan betapa legitnya terang bulan yang ia bawakan.
“Dek, bangun dek, kakak bawain yang adek minta nih” dengan menggoyangkan badan adiknya sang kakak mencoba membangunkan
Telah di coba berulang kali, namun tak ada respon dari adiknya, sang kakak mulai khawatir, ia perhatikan seluruh tubuh adiknya, badannya dingin serta kulitnya membiru. Dengan panik sang kakak mencoba membangunkan kembali adiknya dengan nada yang lirih, takut bila terjadi sesuatu dengan adiknya
“deek, banguun dong, kamu kenapa dek? Deek, jangan buat kakak takuut”
Dengan tampang linglung sang kakak tak tahu harus berbuat apa, ia tak kenal siapapun, dengan keadaan panik dan bingung sang kakak hanya bisa menangis disamping adiknya dengan tetap memegangi kotak putih berisi kue terang bulan dengan harapan adiknya bisa bangun. Saat melihat kotak terang bulan, sang kakak teringat dengan paman penjualnya ia kembali melihat ke arah kedai paman tersebut, masih buka, tanpa pikir panjang sang kakak langsung kembali ke kedai tersebut untuk meminta tolong sekali lagi
Dengan berlari membawa tangis, sang kakak mencoba berteriak agar paman penjual terang bulan tidak pulang terlebih dulu
“paamaaaan, paamaaaan” teriak sang kakak yang melihat paman penjual kue terang bulan mulai berkemas dan merapikan kedainya
Dari arah seberang sang paman bingung dengan suara yang tertuju padanya, ia mencari-cari sumber suara tersebut, akhirnya ia menemukannya dan melihat seorang bocah yang berlari kecil dengan melambaikan tangannya.
“pamaan jangan pulang dulu” teriak sang kakak kembali
“saya mau minta tolong paman”
Saat menyeberangi jalan sang kakak dengan panik tidak melihat kanan kiri apakah jalan telah sepi dari kendaraan, ia langsung menyeberangi jalan karena takut jika paman tersebut pulang dan adiknya tidak tertolong, pikiran sang kakak kacau segala kemungkinan yang akan terjadi pada adiknya terlintas hinggga membuatnya tambah takut
Tanpa dia sadari, dari arah kiri ruas jalan ada sebuah kijang hitam melaju dengan kecepatan cukup tinggi, sang pengemudi yang terkejut melihat ada sebuah anak kecil yang tiba-tiba menyeberang jalan pengemudi tersebut hanya bisa membunyikan klakson dengan sekeras mungkin, suara klakson tersebut langsung membuat bocah tersebut terkejut dan membuatnya terdiam, dalam keadaan panik serta di bawah tekanan dengan kondisi sang adik dan kini ia dikejutkan dengan sebuah klakson yang begitu kerasnya, sang kakak bingung harus bagaimana, ia terpaku dengan kondisi serta posisi yang serba salah
“heeeeeiii, awaaaas….!!!” Teriak sang paman, mencoba menyadarkan sang kakak yang terpaku melihat mobil kijang yang berjarak beberapa meter lagi dengannya
Dengan sigap sang pengemudi kijang tersebut menekan pedal rem, bunyi melengking pun terdengar menyakitkan telinga, dengan harapan agar tak terjadi sebuah tabrakan, sang pengemudi mencoba membanting kemudi ke arah kiri, namun dalam keadaan hujan serta jalanan yang licin membuat kijang tersebut oleng.
“braaaak…..”
Moncong kijang tersebut akhirnya menabrak bocah malang yang ada didepannya, dan bocah tersebut terpental jauh beberapa meter.
“astagaaaa….” Paman berteriak seketika melihat kejadian di depan matanya tersebut
Paman berlari ke ruas jalan dan melihat kondisi sang bocah tersebut. Sang kakak sudah terkapar tak berdaya dengan darah mengucur dari kepalanya dan mengalir begitu derasnya karena bercampur dengan air hujan. Sang paman penjual terang bulan tersebut mencoba memastikan bahwa anak tersebut masih sadarkan diri
“hei nak, bangun, kamu tidak apa-apa kan?”
“pamaan….” Dengan suara lirih sang adik mencoba menjelaskan kondisi adiknya
“tolong adik saya… paa…maaaaan”
“iyaa nak iyaa… kamu jangan banyak bicara dulu ya, kamu pasti kuat” ucap paman
Dengan keadaan panik serta emosi yang meluap sang paman tersebut kea rah mobil yang menabrak bocah malang tersebut, paman menggedor-gedor kaca mobil agar si pengemudi keluar dan bertanggung jawab.
“heeei keluar, tanggung jawab!!” teriak paman kepada pengemudi
“iya pak saya akan tanggung jawab, saya akan mengurusi semuanya di rumah sakit ya pak, kebetulan saya juga mau ke rumah sakit sekarang”
Dengan sebuah kalimat tersebut pengemudi tersebut menenangkan paman yang sedang kalut. Dan meminta sang paman untuk memasukkan bocah tersebut ke dalam mobilnya.
“saya minta tolong sekali selamatkan bocah ini ya pak” pinta paman tersebut kepada si pengemudi
“iya pak saya usahakan semaksimal mungkin, saya juga seorang dokter jadi saya mengerti perasaan bapak” jelas si pengemudi tentang profesinya
“oh jadi bapak seorang dokter wah kebetulan sekali”
“kebetulan bagaimana ya pak”
“itu pak tolong anak itu” paman mencoba mengalihkan pandangan sang dokter tersebut kearah bocah malang yang tersingkup di teras took
“dia adik dari anak yang bapak tabrak tadi, sepertinya dia pingsan pak” jelas paman kembali yang melihat dokter terebut kebingungan
“saya lihat terlebih dahulu ya pak”
“oh iya mari dok”
Dokter tersebut melihat kondisi anak tersebut, dengan kondisi kulit membiru serta dingin dan dirasakan bahwa perut anak tersebut mengecil, dokter menjelaskan kepada paman tersebut bahwa anak malang tersebut sedang mengalami Hipotermia. Melihat paman yang tidak mengerti dengan maksud dari dokter, dokter kembali menjelaskannya dengan lebih mudah bahwa anak tersebut pingsan karena kedinginan dan kelaparan, karena perut yang kosong dan suasana yang begitu dingin menyebabkan tidak ada energi atau cadangan karbohidrat untuk di ubah menjadi energi, akhirnya anak tersebut lemas dan pingsan.
Usai mendengarkan penjelasan sang dokter, paman kembali di mintai tolong untuk membawa anak tersebut ke dalam mobilnya serta mengajak paman tersebut ikut mengantarkan kedua bocah malang tersebut ke rumah sakit.
Saat di rumah sakit sang dokter meminta agar paman tersebut untuk segera menyelesaikan segala administrasi rumah sakit. Namun, paman tidak bisa melakukannya karena dua bocah tersebut bukanlah anak ataupun saudaranya. Paman tersebut ingin membantu tapi ia tidak memiliki banyak uang untuk membantu.
“Pak, jika saya yang menjadi orang tua asuh bagi mereka bagaimana?”
Tanya dokter yang ingin meringankan beban pikiran paman penjual kue terang bulan yang tampak tidak tahu harus bagaimana. Paman akhirnya mengaminkan permohonan sang dokter setelah dokter tersebut menjelaskan bahwa ia tidak akan bisa memiliki anak dengan beberapa alasan.
“aku di mana?” Tanya sang kakak yang baru tersadar dari pingsannya dan mengagetkan dokter serta paman.
“kamu di rumah sakit” jawab paman
“ough, kepala ku?” Tanya sang kakak dengan memegang kepalanya yang terasa sakit
“kamu jangan banyak gerak ya, biar gak tambah parah sakitnya” jelas dokter seraya membaringkan sang kakak
“hmm, paman siapa?” Tanya sang kakak kepada dokter
“saya yang menabrak mu tadi, saya juga dokter di rumah sakit ini” dokter kembali menjelaskan perlahan
“menabrak ku?” sang kakak tampak masih bingung dan menyeret semua memori ke beberapa detik, menit, dan jam yang lalu
“adik… adik ku mana?” sang kakak yang mulai teringat langsung mencari-cari adiknya
“kamu tenang saja, adik mu nggak apa-apa, tuh lagi makan sama istri saya”
dokter mencoba mengarahkan pandangan sang kakak ke ruangan sebelah tuk melihat bahwa kondisi adiknya tidak apa-apa dan sedang di suapi oleh seorang perempuan berkulit putih bersih dan tampak begitu baik dan ramah yang terlihat dari senyum kecilnya yang begitu tulus dan semua itu disempurnakan dengan pakaiannya yang bersih rapi dengan balutan kerudung berwarna merah muda. Belum sempat sang kakak bertanya, dokter menggendong bocah perempuan tersebut ke kamar sang adiknya.
“kamu pasti lapar juga kan?” Tanya sang dokter
Dengan anggukan kepala serta sebuah senyum, sang kakak memberi jawaban kepada dokter tersebut
“bunda, ini kakak dari anak itu, kamu suapin sekalian ya bun” pinta sang dokter kepada istrinya
“iya ayah” jawab sang istri
“oh iya gimana nasib mereka, apa jadi….”
Belum selesai sang istri mengatakan sesuatu sudah terlebih dahulu di potong oleh paman penjual kue terang bulan yang dari tadi memerhatikan pasutri dengan dua bocah yang terlihat begitu harmonis meski mereka tidak memilika hubungan darah.
“iya gak apa bu, saya juga bukan siapa-siapa mereka jadi saya percayakan kepada bapak dan ibu” jelas paman untuk menjawab pertanyaan istri dokter tersebut
“hai nak, mulai sekarang kamu nggak bakal kebingungan lagi mau tidur dimana terus makan apa ya. Mulai sekarang kamu sama adik mu bisa panggil dokter ini ayah dan istrinya kalian panggil bunda ya” jelas sang paman
“wah kita punya orang tua angkat sekarang ya kakak”
dengan ceria dan mulut yang masih penuh dengan nasi sang adik meluapkan rasa senangnya tersebut dan tidak menyadari jika beberapa butir nasi terpelanting keluar dari mulutnya, tingkah sang adik tersebut justru membuat semua orang dalam ruangan kecil tersebut tertawa bahagia
“terus paman gimana? Apa kita masih bisa ketemu paman?” Tanya sang kakak yang merasa berhutang budi kepada paman tersebut
“kalian masih bisa ketemu paman kok, nanti kalian pulang sekolah atau setiap minggu mau ke kedai paman juga boleh” sang dokter mencoba menjelaskan pertanyaan sang kakak yang kini menjadi putrinya
“kita sekolah? Makasih ayah…” dengan senyum sumringah sang kakak merespon
“adik juga sekolah kan bunda?” Tanya adik yang tidak mau kalah
“iya saying, nanti adik juga sekolah kaya kakak” jelas istri dokter sambil memeluk putranya tersebut
“makasih ayah… makasih bunda” jawab adik dengan membalas pelukan bunda barunya tersebut
Tampak keceriaan serta keharmonisan sebuah keluarga di ruang dengan warna yang nyaris 90% berwarna putih tersebut. Dua bocah yatim piatu kini telah memiliki ayah dan bunda yang sejak dulu mengimpikan mempunyai sepasang anak, sedangkan paman penjual kue terang bulan tersebut menjadi paman kedua anak tersebut. Kedua anak tersebut hidup bahagia tanpa kekurangan apapun, mereka tumbuh besar dan kuat, mereka pun juga cerdas terlihat dari semua prestasi serta peringkat di kelas mereka masing-masing hingga di bangku SMA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar