Di
suatu senja, di sudut keramaian kota, di antara deras hujan mendera, ada dua
bocah yang sedang berkelana. Tak tahu arah ingin kemana, hanya mengikuti naluri
kaki melangkah. Dua bocah kakak beradik, kakaknya perempuan berusia tujuh tahun
sedangkan adiknya laki-laki berusia 4 tahun, dengan pakaian lusuh dan basah
kuyup karena hujan yang tak berujung. Sang kakak mencoba mendamaikan hati si
adik lantaran mengeluh kedinginan serta kelaparan. Hanya kata “sabar”
yang mampu diberikan sang kakak. Dua bocah yang telah berjalan puluhan
kilometer tersebut tak tahu harus kemana, mereka merupakan anak yatim piatu
yang tak memiliki sanak saudara.
“kak,
adik sudah nggak kuat jalan lagi” pinta sang adik kepada kakaknya dengan
meremas tangan si kakak sekuat tenaga yang tersisa.
“iya
sudah, kita istirahat disana yuk” jawab sang kakak seraya menunjuk pada arah
teras toko di depan.
Sesampainya
mereka disana, kakak menggelar kardus hanya sekedar pengurang rasa dingin
sebagai alas mereka untuk tidur. Mereka berdua tak bisa tertidur di tengah
perut yang sedang lapar serta dinginnya angin malam yang di bumbui sapuan air
hujan.
Sang
kakak mencoba mengelus rambut
sang adik, pelan dan penuh kasih sayang, sang adik membalas dengan pelukan.
Tampak pemandangan dua bocah kucel yang saling berpelukan, menghangatkan
tubuh dalam dekapan. Terdengar suara perut sang kakak yang sedang keroncongan.
“kakak
laper ya?” tanya si adik kepada kakaknya
hanya
menggelengkan kepala sang kakak memberi isyarat bahwa ia tidak lapar, namun
sang adik yang mendengar goncangan perut sang kakak tak bisa tuk dibohongi.
Dengan tatapan
dalam, sang adik menangis melihat sang kakaknya memegangi perutnya, dia tak
tahu harus bagaimana, bocah laki-laki tersebut akhirnya berinisiatif berlari ke
tengah-tengah derasnya hujan, ia mencoba menampung air hujan dengan kedua
tangannya yang kecil. Ia kembali berlari ke arah sang kakak dengan tangan
berisikan air hujan.
“kaaaak,
diminum kak, biar perut kakak gak perih lagi”
dengan
mata berbinar-binar anak yang masih lugu serta tak tahu apapun tersebut dipaksa
menjadi lebih dewasa karena keadaaan. Sang kakak dengan berat hati menerima air
hujan yang dibawakan sang adik. Air itu terasa begitu dingin bercampur dengan
isak tangis sang kakak,
“ya
Tuhan, kenapa kami berdua harus seperti” hati kecil sang kakak berbisik.
Melihat
sang adik mencoba berlari kembali ke tengah derasnya hujan malam itu, sang
kakak mengejarnya
“sudah
dik, sudah, kakak sudah tidak apa-apa” sang kakak memeluk adiknya erat-erat,
“maafin
kakak ya, nggak bisa berbuat apa-apa” kakak yang mencoba berkata di tengah deru tangis.
“kak,
itu makanan apa ya kak?” tunjuk sang adik ke arah penjual di seberang jalan
raya.
“itu
terang bulan dik, kamu mau?” tanya sang kakak.
Sang
adik mencoba menutupi rasa inginnya tersebut, dengan mata berbinar yang ia
tunjukkan, sang kakak mencoba
membelikan meski ia tak tahu bagaimana cara membelinya karena sang kakak tak
memiliki uang bahkan seribu rupiah sekalipun.
“kamu
mau kan? Kakak beliin ya, sekarang adik tunggu sebentar kakak mau kesana” pinta
sang kakak serta mengarahkan si adik tuk menuju teras toko kembali.
“paman,
saya boleh minta terang bulannya satu potong?”
tanya
sang kakak dengan mengepalkan tangan di tengah dadanya bukan bermaksud untuk
memohon namun hal tersebut lantaran ia kedingingan, dingin yang terasa begitu
teramat menusuk.
“haah!
Enak sekali kamu minta, cuma satu potong lagi, memang kamu nggak ada uang ya?”
bentak si penjual terang bulan tersebut,
dengan
sebuah gelengan kepala sang kakak menjawab serta melanjutkan “saya mohon paman,
ini untuk adik saya yang disana, dia kelaparan” sang kakak menjelaskan seraya
menunjuk ke arah sang adik yang tertidur.
Sang
penjual seketika merasa iba, ternyata bocah tersebut tak sendiri bahkan dia
meminta hanya satu potong hanya untuk si adiknya
“ya
sudah, ini saya kasih, kamu pasti kelaparan juga kan?” tanya si penjual dengan
memberikan satu kotak berisi kue terang bulan.
Tanpa
berpikir terlalu lama sang kakak menerimanya, dan dia membukanya, matanya mulai
berkaca-kaca ia berprasangka bahwa malam ini dia dan adiknya tak akan terlelap
dalam kelaparan air matanya jatuh dan membasahi kue terang bulan tersebut, ia
mencoba menyantap satu potong kue terang bulan tersebut hangat serta legit ia
rasakan, dengan penuh semangat dan terlihat rakus sang kakak memakan
kembali beberapa potong kue terang bulan tersebut, dengan mulut masih penuh sang
kakak mengucapkan terima kasih pada si penjual tersebut. Sang penjual hanya
bisa terdiam, melihat keadaan bocah tersebut dengan ceria memakan kue terang
bulan buatannya serta tak mempedulikan lagi pakaiannya yang basah.
Sang kakak kemudian kembali tuk memberikan
terang bulan kepada adiknya, dengan salah satu tangan membawa kotak persegi
berwarna putih yang berisi beberapa potong terang bulan serta tangan satunya
lagi menutupi bagian atas kotak agar terlindung dari hujan
Setibanya di teras toko, ia melihat adiknya
tertidur, dengan posisi kedua kaki terlipat rapat di depan dada dengan kedua
tangan terjepit di antara sela kaki. Sang kakak mencoba membangunkannya agar si
adik bisa merasakan betapa legitnya terang bulan yang ia bawakan.
“Dek, bangun dek, kakak bawain yang adek
minta nih” dengan menggoyangkan badan adiknya sang kakak mencoba membangunkan
Telah di coba berulang kali, namun tak ada
respon dari adiknya, sang kakak mulai khawatir, ia perhatikan seluruh tubuh
adiknya, badannya dingin serta kulitnya membiru. Dengan panik sang kakak
mencoba membangunkan kembali adiknya dengan nada yang lirih, takut bila terjadi
sesuatu dengan adiknya
“deek, banguun dong, kamu kenapa dek? Deek,
jangan buat kakak takuut”
Dengan tampang linglung sang kakak tak tahu
harus berbuat apa, ia tak kenal siapapun, dengan keadaan panik dan bingung sang
kakak hanya bisa menangis disamping adiknya dengan tetap memegangi kotak putih berisi
kue terang bulan dengan harapan adiknya bisa bangun. Saat melihat kotak terang
bulan, sang kakak teringat dengan paman penjualnya ia kembali melihat ke arah
kedai paman tersebut, masih buka, tanpa pikir panjang sang kakak langsung
kembali ke kedai tersebut untuk meminta tolong sekali lagi
Dengan berlari membawa tangis, sang kakak
mencoba berteriak agar paman penjual terang bulan tidak pulang terlebih dulu
“paamaaaan, paamaaaan” teriak sang kakak yang
melihat paman penjual kue terang bulan mulai berkemas dan merapikan kedainya
Dari arah seberang sang paman bingung dengan
suara yang tertuju padanya, ia mencari-cari sumber suara tersebut, akhirnya ia
menemukannya dan melihat seorang bocah yang berlari kecil dengan melambaikan
tangannya.
“pamaan jangan pulang dulu” teriak sang kakak
kembali
“saya mau minta tolong paman”
Saat menyeberangi jalan sang kakak dengan
panik tidak melihat kanan kiri apakah jalan telah sepi dari kendaraan, ia
langsung menyeberangi jalan karena takut jika paman tersebut pulang dan adiknya
tidak tertolong, pikiran sang kakak kacau segala kemungkinan yang akan terjadi
pada adiknya terlintas hinggga membuatnya tambah takut
Tanpa dia sadari, dari arah kiri ruas jalan
ada sebuah kijang hitam melaju dengan kecepatan cukup tinggi, sang pengemudi
yang terkejut melihat ada sebuah anak kecil yang tiba-tiba menyeberang jalan
pengemudi tersebut hanya bisa membunyikan klakson dengan sekeras mungkin, suara
klakson tersebut langsung membuat bocah tersebut terkejut dan membuatnya
terdiam, dalam keadaan panik serta di bawah tekanan dengan kondisi sang adik
dan kini ia dikejutkan dengan sebuah klakson yang begitu kerasnya, sang kakak
bingung harus bagaimana, ia terpaku dengan kondisi serta posisi yang serba
salah
“heeeeeiii, awaaaas….!!!” Teriak sang paman,
mencoba menyadarkan sang kakak yang terpaku melihat mobil kijang yang berjarak
beberapa meter lagi dengannya
Dengan sigap sang pengemudi kijang tersebut
menekan pedal rem, bunyi melengking pun terdengar menyakitkan telinga, dengan
harapan agar tak terjadi sebuah tabrakan, sang pengemudi mencoba membanting
kemudi ke arah kiri, namun dalam keadaan hujan serta jalanan yang licin membuat
kijang tersebut oleng.
“braaaak…..”
Moncong kijang tersebut akhirnya menabrak
bocah malang yang ada didepannya, dan bocah tersebut terpental jauh beberapa
meter.
“astagaaaa….” Paman berteriak seketika
melihat kejadian di depan matanya tersebut
Paman berlari ke ruas jalan dan melihat
kondisi sang bocah tersebut. Sang kakak sudah terkapar tak berdaya dengan darah
mengucur dari kepalanya dan mengalir begitu derasnya karena bercampur dengan
air hujan. Sang paman penjual terang bulan tersebut mencoba memastikan bahwa
anak tersebut masih sadarkan diri
“hei nak, bangun, kamu tidak apa-apa kan?”
“pamaan….” Dengan suara lirih sang adik
mencoba menjelaskan kondisi adiknya
“tolong adik saya… paa…maaaaan”
“iyaa nak iyaa… kamu jangan banyak bicara
dulu ya, kamu pasti kuat” ucap paman
Dengan keadaan panik serta emosi yang meluap
sang paman tersebut kea rah mobil yang menabrak bocah malang tersebut, paman
menggedor-gedor kaca mobil agar si pengemudi keluar dan bertanggung jawab.
“heeei keluar, tanggung jawab!!” teriak paman
kepada pengemudi
“iya pak saya akan tanggung jawab, saya akan
mengurusi semuanya di rumah sakit ya pak, kebetulan saya juga mau ke rumah
sakit sekarang”
Dengan sebuah kalimat tersebut pengemudi
tersebut menenangkan paman yang sedang kalut. Dan meminta sang paman untuk
memasukkan bocah tersebut ke dalam mobilnya.
“saya minta tolong sekali selamatkan bocah
ini ya pak” pinta paman tersebut kepada si pengemudi
“iya pak saya usahakan semaksimal mungkin,
saya juga seorang dokter jadi saya mengerti perasaan bapak” jelas si pengemudi
tentang profesinya
“oh jadi bapak seorang dokter wah kebetulan
sekali”
“kebetulan bagaimana ya pak”
“itu pak tolong anak itu” paman mencoba
mengalihkan pandangan sang dokter tersebut kearah bocah malang yang tersingkup
di teras took
“dia adik dari anak yang bapak tabrak tadi,
sepertinya dia pingsan pak” jelas paman kembali yang melihat dokter terebut
kebingungan
“saya lihat terlebih dahulu ya pak”
“oh iya mari dok”
Dokter tersebut melihat kondisi anak
tersebut, dengan kondisi kulit membiru serta dingin dan dirasakan bahwa perut
anak tersebut mengecil, dokter menjelaskan kepada paman tersebut bahwa anak
malang tersebut sedang mengalami Hipotermia.
Melihat paman yang tidak mengerti dengan maksud dari dokter, dokter kembali
menjelaskannya dengan lebih mudah bahwa anak tersebut pingsan karena kedinginan
dan kelaparan, karena perut yang kosong dan suasana yang begitu dingin
menyebabkan tidak ada energi atau cadangan karbohidrat untuk di ubah menjadi
energi, akhirnya anak tersebut lemas dan pingsan.
Usai mendengarkan penjelasan sang dokter,
paman kembali di mintai tolong untuk membawa anak tersebut ke dalam mobilnya
serta mengajak paman tersebut ikut mengantarkan kedua bocah malang tersebut ke
rumah sakit.
Saat di rumah sakit sang dokter meminta agar
paman tersebut untuk segera menyelesaikan segala administrasi rumah sakit.
Namun, paman tidak bisa melakukannya karena dua bocah tersebut bukanlah anak
ataupun saudaranya. Paman tersebut ingin membantu tapi ia tidak memiliki banyak
uang untuk membantu.
“Pak, jika saya yang menjadi orang tua asuh
bagi mereka bagaimana?”
Tanya dokter yang ingin meringankan beban pikiran
paman penjual kue terang bulan yang tampak tidak tahu harus bagaimana. Paman
akhirnya mengaminkan permohonan sang dokter setelah dokter tersebut menjelaskan
bahwa ia tidak akan bisa memiliki anak dengan beberapa alasan.
“aku di mana?” Tanya sang kakak yang baru
tersadar dari pingsannya dan mengagetkan dokter serta paman.
“kamu di rumah sakit” jawab paman
“ough, kepala ku?” Tanya sang kakak dengan
memegang kepalanya yang terasa sakit
“kamu jangan banyak gerak ya, biar gak tambah
parah sakitnya” jelas dokter seraya membaringkan sang kakak
“hmm, paman siapa?” Tanya sang kakak kepada
dokter
“saya yang menabrak mu tadi, saya juga dokter
di rumah sakit ini” dokter kembali menjelaskan perlahan
“menabrak ku?” sang kakak tampak masih
bingung dan menyeret semua memori ke beberapa detik, menit, dan jam yang lalu
“adik… adik ku mana?” sang kakak yang mulai
teringat langsung mencari-cari adiknya
“kamu tenang saja, adik mu nggak apa-apa, tuh
lagi makan sama istri saya”
dokter mencoba mengarahkan pandangan sang
kakak ke ruangan sebelah tuk melihat bahwa kondisi adiknya tidak apa-apa dan
sedang di suapi oleh seorang perempuan berkulit putih bersih dan tampak begitu
baik dan ramah yang terlihat dari senyum kecilnya yang begitu tulus dan semua
itu disempurnakan dengan pakaiannya yang bersih rapi dengan balutan kerudung
berwarna merah muda. Belum sempat sang kakak bertanya, dokter menggendong bocah
perempuan tersebut ke kamar sang adiknya.
“kamu pasti lapar juga kan?” Tanya sang
dokter
Dengan anggukan kepala serta sebuah senyum,
sang kakak memberi jawaban kepada dokter tersebut
“bunda, ini kakak dari anak itu, kamu suapin
sekalian ya bun” pinta sang dokter kepada istrinya
“iya ayah” jawab sang istri
“oh iya gimana nasib mereka, apa jadi….”
Belum selesai sang istri mengatakan sesuatu
sudah terlebih dahulu di potong oleh paman penjual kue terang bulan yang dari
tadi memerhatikan pasutri dengan dua bocah yang terlihat begitu harmonis meski
mereka tidak memilika hubungan darah.
“iya gak apa bu, saya juga bukan siapa-siapa
mereka jadi saya percayakan kepada bapak dan ibu” jelas paman untuk menjawab
pertanyaan istri dokter tersebut
“hai nak, mulai sekarang kamu nggak bakal
kebingungan lagi mau tidur dimana terus makan apa ya. Mulai sekarang kamu sama
adik mu bisa panggil dokter ini ayah dan istrinya kalian panggil bunda ya”
jelas sang paman
“wah kita punya orang tua angkat sekarang ya
kakak”
dengan ceria dan mulut yang masih penuh
dengan nasi sang adik meluapkan rasa senangnya tersebut dan tidak menyadari
jika beberapa butir nasi terpelanting keluar dari mulutnya, tingkah sang adik
tersebut justru membuat semua orang dalam ruangan kecil tersebut tertawa
bahagia
“terus paman gimana? Apa kita masih bisa
ketemu paman?” Tanya sang kakak yang merasa berhutang budi kepada paman
tersebut
“kalian masih bisa ketemu paman kok, nanti
kalian pulang sekolah atau setiap minggu mau ke kedai paman juga boleh” sang
dokter mencoba menjelaskan pertanyaan sang kakak yang kini menjadi putrinya
“kita sekolah? Makasih ayah…” dengan senyum
sumringah sang kakak merespon
“adik juga sekolah kan bunda?” Tanya adik
yang tidak mau kalah
“iya saying, nanti adik juga sekolah kaya
kakak” jelas istri dokter sambil memeluk putranya tersebut
“makasih ayah… makasih bunda” jawab adik
dengan membalas pelukan bunda barunya tersebut
Tampak keceriaan serta keharmonisan sebuah
keluarga di ruang dengan warna yang nyaris 90% berwarna putih tersebut. Dua
bocah yatim piatu kini telah memiliki ayah dan bunda yang sejak dulu
mengimpikan mempunyai sepasang anak, sedangkan paman penjual kue terang bulan tersebut
menjadi paman kedua anak tersebut. Kedua anak tersebut hidup bahagia tanpa
kekurangan apapun, mereka tumbuh besar dan kuat, mereka pun juga cerdas
terlihat dari semua prestasi serta peringkat di kelas mereka masing-masing hingga
di bangku SMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar