Selasa, 01 Agustus 2017

apa kabar PSPA?



Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dimaksud dengan Sistem Pendidikan Nasional atau SISDIKNAS pada Bab 1 pasal 1 adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Bila mengacu pada pasal tersebut dan dikaitkan dengan pendidikan kefarmasian di Indonesia maka bisa saja komponen pendidikan yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah IAI sebagai Organisasi Profesi, APTFI sebagai satu-satunya asosiasi yang memiliki kewenangan dalam mengatur kurikulum kefarmasian, dan juga stakeholder terkait seperti kemenristekdikti, kemenkes, atau juga kemenpora serta lembaga Perguruan Tinggi itu sendiri.

ISMAFARSI sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa yang menaungi seluruh Lembaga Strata 1 Farmasi. Pada tahun 2017, tepat pada saat RAKERNAS XIII di Palembang ISMAFARSI memiliki jumlah anggota 76 Lembaga Eksekutif Mahasiswa dengan jumlah anggota peninjau 6 Lembaga Eksekutif Mahasiswa. Jumlah anggota yang tergabung dalam ISMAFARSI kian tahun kian bertambah, hal ini memicu lahirnya beberapa pertanyaan seperti “Apakah prodi S1 Farmasi akan terus menjamur?” atau juga “kenapa jumlah S1 Farmasi tidak diimbangi dengan PSPA?”. Hingga tahun 2017, dari 102 total Perguruan Tinggi Farmasi (PTF), hanya 36 yang memiliki PSPA (Program Studi Profesi Apoteker).

Bila di tinjau dari UU terkait SISDIKNAS pada Bab VI pasal 20 menyatakan “Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi. Dengan ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.”
Dalam STANDAR PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER (SPPA) yang dikeluarkan oleh APTFI, penyelenggara Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) adalah :
    * Program Studi Sarjana Farmasi (PSSF) yang telah terakreditasi minimal B (Dirjen Dikti) dan mendapat rekomendasi dari APTFI dan IAI.
       *   Ijin penyelenggaraan dikeluarkan oleh Dirjen Dikti setelah ketentuan di atas terpenuhi.

Lantas, Mengapa Lembaga Program Studi Sarjana Farmasi yang telah terakreditasi B terkesan tidak mendapatkan rekomendasi dari APTFI? Bukankah Indonesia sedang krisis tenaga Apoteker?

Komite Farmasi Nasional (KFN) telah mencatat sebanyak 54.924 apoteker terdaftar di seluruh Indonesia. Sedangkan jumlah penduduk Indonesia hingga 2015 tercatat sebanyak 255.461.700 jiwa. Jika dihitung rasio perbandingan antara apoteker dengan jumlah penduduk Indonesia, maka di peroleh rasio 1:4.600 yang artinya satu apoteker untuk 4.600 penduduk Indonesia. Rasio maksimal rekomendasi WHO yaitu 1:2.000 dalam menjalankan tugas profesi, apoteker tidak hanya mempunyai lapangan pekerjaan di Rumah Sakit dan Puskesmas saja, tetapi apoteker terbagi pemilihan minat di bidang lain dalam bekerja seperti di Industri Farmasi, Distribusi, Pelayanan di Apotek, Pengembangan ilmu di Universitas dan lembaga riset, pemerintahan di bidang regulasi obat, dan sebagai tenaga pengajar di sekolah farmasi, serta wirausaha.

Alasan ini lah yang menyebabkan rasio apoteker di bidang pelayanan masih jauh dari angka yang di harapkan dan semoga pengembangan PSPA baru menjadi prioritas utama bukan lagi membuka keran penghasil lulusan strata satu farmasi semata.


Selasa, 04 April 2017

Die et Nocte



Die et Nocte berasal dari bahasa latin (Die berarti hari/siang) dan (Nocte berarti malam), sehingga Die et Nocte secara keselurahan berarti Siang dan Malam. Namun, dalam novel fiktif ini lebih mengarah pada makna “Senja”, dimana saat bertemunya langit Siang dengan Malam. Sebuah fenomena lembayung Senja saat dimana keindahan tiada terkira tercipta.
Disaat itulah aku, Ryan Svastika bertemu secara tak sengaja dengan Aisyah Rani seorang mahasiswi jurusan Farmasi dan juga relawan panti jompo lalu bertransformasi menjadi seorang Apoteker dengan paras begitu menawan. Rani merupakan perempuan yang begitu menaati perintah Agama, hal itulah yang membuatku menyukainya. Dengan paras sayu meneduhkan dihiasi kacamata penutup kedua bola mata indahnya, tutur ucap begitu santun dan senyum ramah merupakan harta termahal baginya Sedangkan aku yang berasal dari keluarga “Svastika” memiliki seorang ibu bernama Ranti Svastika yang menjadi single parent semenjak bapak ku, Arya Svastika, meninggal dunia. Ibu merupakan sosok yang lemah lembut namun sangat mengharapkan bila aku akan mempunyai hubungan serius dengan Dewi.
Saat bertemu dengan Rani, aku masih menyandang status sebagai mahasiswa jurusan Kedokteran bersama dengan kedua sahabat ku, Faris dan Andrew. Aku dan kedua sahabatku tersebut akhirnya bekerja di Rumah Sakit yang sama dan disinilah kami bertiga bertemu dengan perawat Lusi, Sinta dan juga Dewi. Dewi adalah masalalu ku, hubungan ku dengan dia harus kandas karena ia mendua dengan Derry, teman ku. Aku yang merasa kecewa berharap tak pernah lagi bertemu dengannya, tapi di luar dugaan, Dewi ternyata mampu melakukan tindakan yang ia anggap sebagai “penebus dosa” sehingga membuat ku justru berterimakasih dengannya. Sedangkan perawat Lusi, dia adalah wanita yang selalu sigap bila kami para dokter memerlukan bantuan segera, entah mengapa dimana ada kejadian darurat ia selalu ada di area sekitar. Sinta merupakan sekretaris ku, ia adalah korban perasaan. Sinta sempat di buat terluka saat hari pernikahannya, mempelai pria yang sudah berpacaran cukup lama meninggalkannya tanpa sebab dan alasan yang masuk akal.
Pertemuan ku dengan Rani membuat banyak perubahan teruntukku, terutama saat aku mulai sering ikut bersamanya menjadi relawan di sebuah panti dan bertemu dengan Kakek yang tak pernah lelah memberi wejangan kepada ku dan Rani. Karena sebuah kesalah pahaman, saat Rani harus melihat Dewi bersandar di pundakku membuat aku dan Rani tak bertemu selama satu tahun. Namun waktu membuktikan kuasanya, waktu mempertemukan antara aku dan Rani dengan cara yang tak terduga, yaitu menjadikan Rani sebagai apoteker di Rumah Sakit yang sama dengan ku.
Di Rumah Sakit inilah kisah antara aku dan Rani dimulai kembali. Namun, Dewi hadir membawa suasana menjadi di luar skenario. Dewi juga menjadi bagian dari Rumah Sakit sebagai ahli anestesi. Suasana Rumah Sakit yang begitu kompleks, membuatnya sulit di tebak. Tak sedikit aku harus mendapatkan operasi secara mendadak, lelah sudah pasti tapi inilah caraku mengabdi. Tak hanya pasien yang memberi warna, tapi juga kehadiran Dewi sang masalalu dan juga Rani si masadepan mampu memberikan sumbangsih warna
Ketika Senja memberikan bukti dengan pertemuan insan yang terbuai cinta, aku mulai merubah stigma ku kepada Senja. Berawal dari “Senja yang begitu menghangatkan, menyenangkan, mendamaikan serta menenggelamkan semua kenangan bersamanya” berubah menjadi “Senja akan selalu menjadi saksi, harap berbisik semoga abadi, kisah antara aku bersama Rani”. Perjuanganku tak berhenti, aku harus menghadapi ibu ku sendiri saat akan mengenalkan Rani sebagai calon istriku. Ibu yang terlalu berharap pada Dewi, membuatnya merasa tak mampu menerima kehadiran wanita lain untuk bersanding dengan ku. Pertengkaran maha dahsyat antara aku dengan ibu pun tak terelakkan. Namun disaat dua wanita terluka, lagi dan lagi Dewi mampu menjadi hal tak terduga, hadir dan memberikan warna cerah.

“Demi senja… aku pertaruhkan nyawa untuk yang tercinta.
Di bawah langit senja… kita ukir sejarah tentang kita berdua.
Karena senja… kita bertemu dan menyatu di singgasana
Untuk senja… kamu… yang begitu sempurna dengan indahnya bola mata
Wahai senja yang menghangatkan, menyenangkan dan begitu mendamaikan
Kan ku ukir, kisah kami berdua di langit senja
Tentang hari ini, kemarin hingga esok lusa
Tetaplah selalu menjadi saksi, harap berbisik semoga abadi, kisah antara aku bersamanya
Dan… teruslah menjadi senja teruntuk kami yang sedang di mabuk asmara, terbuai cinta tanpa terjebak ruang nostalgia”

Sajak puisi yang menjadi sumpah janji hubungan antara aku dengan Rani. Sumpah yang terucap saat Rasa berada di penghujung Senja.


Note : untuk keseluruhan naskah dapat dibaca pada Die et Nocte