Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yang dimaksud dengan Sistem Pendidikan Nasional
atau SISDIKNAS pada Bab 1 pasal 1 adalah keseluruhan komponen pendidikan yang
saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Bila mengacu pada pasal tersebut dan
dikaitkan dengan pendidikan kefarmasian di Indonesia maka bisa saja komponen
pendidikan yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah IAI sebagai Organisasi
Profesi, APTFI sebagai satu-satunya asosiasi yang memiliki kewenangan dalam
mengatur kurikulum kefarmasian, dan juga stakeholder terkait seperti
kemenristekdikti, kemenkes, atau juga kemenpora serta lembaga Perguruan Tinggi
itu sendiri.
ISMAFARSI sebagai satu-satunya
organisasi mahasiswa yang menaungi seluruh Lembaga Strata 1 Farmasi. Pada tahun
2017, tepat pada saat RAKERNAS XIII di Palembang ISMAFARSI memiliki jumlah
anggota 76 Lembaga Eksekutif Mahasiswa dengan jumlah anggota peninjau 6 Lembaga
Eksekutif Mahasiswa. Jumlah anggota yang tergabung dalam ISMAFARSI kian tahun
kian bertambah, hal ini memicu lahirnya beberapa pertanyaan seperti “Apakah prodi S1 Farmasi akan terus
menjamur?” atau juga “kenapa jumlah
S1 Farmasi tidak diimbangi dengan PSPA?”. Hingga tahun 2017, dari 102 total
Perguruan Tinggi Farmasi (PTF), hanya 36 yang memiliki PSPA (Program Studi
Profesi Apoteker).
Bila di tinjau dari UU terkait SISDIKNAS
pada Bab VI pasal 20 menyatakan “Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan
program akademik, profesi, dan/atau vokasi. Dengan ketentuan mengenai perguruan
tinggi sebagaimana dimaksud diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.”
Dalam STANDAR PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER (SPPA) yang dikeluarkan oleh APTFI, penyelenggara
Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) adalah :
– * Program Studi Sarjana Farmasi (PSSF)
yang telah terakreditasi minimal B (Dirjen Dikti) dan mendapat rekomendasi dari
APTFI dan IAI.
– *
Ijin penyelenggaraan dikeluarkan oleh
Dirjen Dikti setelah ketentuan di atas terpenuhi.
Lantas,
Mengapa Lembaga Program Studi Sarjana
Farmasi yang telah terakreditasi B terkesan tidak mendapatkan rekomendasi dari
APTFI? Bukankah Indonesia sedang krisis tenaga Apoteker?
Komite Farmasi Nasional (KFN) telah
mencatat sebanyak 54.924 apoteker terdaftar di seluruh Indonesia. Sedangkan
jumlah penduduk Indonesia hingga 2015 tercatat sebanyak 255.461.700 jiwa. Jika
dihitung rasio perbandingan antara apoteker dengan jumlah penduduk Indonesia,
maka di peroleh rasio 1:4.600 yang artinya satu apoteker untuk 4.600 penduduk
Indonesia. Rasio maksimal rekomendasi WHO yaitu 1:2.000 dalam menjalankan tugas
profesi, apoteker tidak hanya mempunyai lapangan pekerjaan di Rumah Sakit dan
Puskesmas saja, tetapi apoteker terbagi pemilihan minat di bidang lain dalam
bekerja seperti di Industri Farmasi, Distribusi, Pelayanan di Apotek,
Pengembangan ilmu di Universitas dan lembaga riset, pemerintahan di bidang
regulasi obat, dan sebagai tenaga pengajar di sekolah farmasi, serta wirausaha.
Alasan ini lah yang menyebabkan rasio
apoteker di bidang pelayanan masih jauh dari angka yang di harapkan dan semoga
pengembangan PSPA baru menjadi prioritas utama bukan lagi membuka keran
penghasil lulusan strata satu farmasi semata.